Minggu, 09 Maret 2008

baca cerpen yuk

MENGGAPAI AWAN


Namaku Hyo, Aku seorang pelajar disebuah sekolah yang cukup ternama di Malang Aku berasal dari sebuah keluarga sederhana, ayahku seorang PNS dan ibuku seorang karyawan pabrikan
Hilir mudik aku pulang pergi kesekolah, peluh keringat disiang hari telah menjadi teman setia menjalani rutinitasku sebagai seorang pelajar. Maklum saja karena rumahku ditepi desa sedangkan sekolahku berada ditengah-tengah kota. Meskipun selalu kepayahan sepulang sekolah, aku tak pernah mengeluh sedikitpun. Keinginan untuk menggapai masa depan yang lebih baik telah menjelma menjadi kekuatanku untuk menghadapi segala tantangan dan hambatan.
Kini tak terasa aku sudah duduk dikelas 2 SMA dan hari ini adalah hari pertama aku memasuki kelas baru. Kelas yang sama sekali baru bagiku, bagaimana tidak hanya beberapa teman saja yang kukenal, sebagian besar mereka adalah pindahan dari kelas lain, memang begitulah keadaanya, setiap tahun pasti ada perubahan warga kelas.
Aku adalah anak yang pendiam dan selalu acuh pada hal-hal yang baru disekitarku, mungkin karena sifatku inilah aku jadi anak yang tidak punya teman. Aku terdiam sendiri di bangku paling pojok tanpa ada seorang pun yang mau mengajaku bercakap ataupun sekedar bertegur sapa. Tak terasa kesendirianku ini telah berjalan hampir 2 minggu. Aku juga tak mengerti mengapa diriku masih belum juga mau beranjak dari rasa sepi itu.
Hari itu hari Selasa, hari yang akan mengubah seluruh hidup.
“Hai sapa namamu, boleh tahu gak?”
Seketika aku terkejut.terlintas dengan sedikit tersenyum kujawab
“Hyo”.
“Hyo!” sembari tertawa ia menanggapi jawabanku. Nampak 2 baris gigi putihnya yang indah. “Hyo doank?” tambahnya.
“Emangnya gak boleh ta kalo Hyo doank, Mbak?” Ia kembali tertawa mendengar jawabanku.
“Ehm…Ya boleh aja sih tapi kok irit banget gitu lo, kenapa nggak ada lanjutanya Hyo sapa gitu kek?” Ia kembali melontarkan pertanyaannya.
“Yach….mau maunya aku tah!”sambarku.
“Ah….nggak pa-pa sih”. Ia kembali berucap.
“Eh….ada apa, ada yang bisa dibantu?” Aku kembali berucap padanya..
“Ah…gini lo aku gak bisa ngerjain soal kimia ini, kamu bisa ajarin aku gih?” ia menunjukan sikap memelasnya sambil mengatupkan kedua tanganya.
Sembari aku mengerjakan soal yang diberikannya, ia lanatas berucap
“Eh…dari tadi ngomongin ini itu kamu kok gak nanya namaku sih?”
“Aku udah tahu kok, namamu Lya kan?” jawabku.
“Lho kamu kok tahu”.
“Ya tahulah, saban hari kan di absen”. Sahutku.
“Ya dech…Ehm gimana soalnya tadi?” ia kembali ke topik semula. Kemudian ia duduk disampingku yang membuatku tidak dapat berkonsentrasi, parahnya, ia mendekatkan dirinya,tak ayal tercium wangi tubuhnya yang membuat aku semakin salah tingkah, ku akui dirinya memang cantik, kettika ia tersenyum nampak dua baris gigi putih yang tersusun indah, dia juga tinggi dan manis. Dalam hati aku bergumam, “udah berapa co ya yang suka ma dia”. .
Setelah hampir 20 menit aku bergelut dengan 3 soal kimia itu dan telah kukeluarkan berbagai jurus pamungkas akhirnya soal kimia itu menyerah dan mengaku kalah. Ia memuji-mujiku,”Wah…kamu hebat juga yah”. “Ah cuma kebetulan kok”. jawabku singkat. Sekali-kali mataku beradu pandang dengannya, pipiku pun bersemu merah dan lantas ia pun tertawa geli, ahhh…membuatku semakin salting…
”hahaha”..kami pun tertawa lepas
Pelajaranpun usai dan setelah doa pulang sekolah selesai diperdengarkan akupun bersiap cabut dan segera pergi ke mushola untuk sholat dhuhur, tapi tanpa dinyana-nyana Lya menyahut. “Hyo…tasmu kebuka, sini aku tutupin”. ia menyambar tasku dan menutupnya.
“Terima kasih ya”. sahutku.
“Ah nggak pa-pa “, kapan-kapan belajar bareng lagi ya”.ucapnya
“Hu uh”, tandasku.
Suatu sore aku duduk didepan rumah, dan lantas termenung.
Sejak pertemuanku dengan dirinya semua hidupku berubah. Seperti ada perasaan aneh yang menggelayut dalam diri, ada kehangatan yang sudah lama tak kurasakan. Kini aku gak lagi demen nelangsa sendirian, gak lagi seneng ngomongin orang dan…ah pokoknya aku merasa dirinya telah membawa suasana baru dalam hidupku. Entah kenapa tiap saat yang telintas hanya bayangan wajah dan gema suaranya. Tiap detik berlalu namun perasaan aneh dalam dadaku terus menyeruak, membuat diriku terasa terbang bersama impian. Kini ku ingin bisa terus menghabiskan langkah sang waktu bersamanya.
Semua lamunanku buyar seiring dengan beduk Maghrib yang sekaligus menandakan tibanya panggilan Ilahi yang menuntut segera ditunaikan. Lekas kuambil air wudhu dan segera pergi menghadapNya.
Esok harinya segera ku bergegas bangun pagi. Kali ini aku bangun lebih cepat 15 menit daripada sang penunjuk waktu..
Hari ini benar-benar terasa lain, walaupun hari ini gak ada PR ataupun ulangan entah kenapa aku selalu ingin pergi dan pergi kesekolah. Semua pelajaran sudah gak aku hiraukan yang ada dalam benaku adalah bertemu dengan Lya.
Tak mengherankan aku yang pertama menduduki kelasku, maklum tangan sang waktu masih menunjuk 05.45, tak lama kemudian penduduk yang lain berdatangan. Tak khayal lagi kelaspun jadi riuh dan ramai, tak ketingglan pula Lya juga telah datang. Ada syarat kelegaan menyeruak hebat dalam hatiku. Aku mendekati bangku temanku,
“Denar” namanya. Aku pun mulai berkelakar,
”Hai, Den..U lihat gak cewek manis yang duduk di pojok, tuh sebelahnya Nita?”
“Oh itu…emangnya ada apa sih?”
“Gila manis buanget ya”. jawabku
“Biasa aja tuh”. cetusnya
“Yah nih anak mata U jangan dikantongin donk, masak harim imut kayak gitu di bilang biasa sih”.
“Yah deh…
“Naksir ya?”imbuhnya
Aku seketika gelagapan dan bingung gak karuan
“Eh malah bengong”.
“Ah ndak-ndak cuma…”
“Cuma apa? Cinta? udah deh jujur aja lagi ndak pa-pa kok!” potongya.
“Eh awas lo ya”. Smabil gemas aku merangkulnya
Selepas semua itu tiba-tiba bel istirahat menjerit-jerit spontan semua penduduk cabut, ada yang ngantin, ada yang ke mushola, dan masih banyak yang lainya, tapi aku masih bertahan di kelas.. Aku termenung, benar-benar gak habis pikir kenapa seh semuanya terasa lain sejak pertemuan itu..”ah mungkin suatu saat aku temukan jawabannya”gumamku dalam hati. Bel masuk berbunyi dan pelajaranpun kembali berlanjut seperti biasanya.
Tak terasa sang waktu telah begitu cepat berlari. Bel pulang memamerkan suaranya dan tanpa kusadari hari ini aku gak ngomong sepatah katapun dengan dirinya. Aku pulang dengan perasaan serba kecewa.
Kini harus kuakui aku benar-benar rindu ngomong lagi dengannya. Parahnya kini ia selalu hadir dan kusebut dalam setiap untaian doaku. Tak pernah terlewat sedikitpun dan mungkin tak akan pernah…
Esok harinya gak jauh beda dengan hari kemarin. Esoknya pun juga sama, blas tanpa kata. Kira-kira hal ini telah berjalan hampir sebulan dan pada suatu hari pada saat jam istirahat, Denar menghampiriku lalu menunjukan selembar kertas padaku, kertas itu berisikan gambar seorang cewek yang kupikir gak asing lagi.
“Hei…Hyo ayo tebak gambare sapa nih ?” cerocos Denar.
“Eh lo dapat gambar ini darimana?” Cetusku tanpa menghiraukan pertanyaanya.
“Oh ini, aku minta lisa gambarin untuku”. Jawabnya
Aku sempat mikir buat apa nih anak nyimpen gambar tuh harim, jangan-jangan denar juga…, Ah gak mungkin. seketika aku menepis semua pikiranku, akupun berlalu dengan sejuta tanda tanya dalam benaku.
Seminggu setelah hari itu aku iseng-iseng mencari informasi sebenarnya siapa sih Lya itu, maklum orang lagi kasmaran dan wajar bila kita ingin menegetahui orang yang kita cintai. Al hasil kini muncul nama baru. “Afla” itulah namanya, nama orang yang yang disebut-sebut sebagai demenannya si Lya, namun aku tak lantas putus asa karena bagaimanapun aku masih punya kesempatan untuk mendapatkan hati si Lya. Kusemangati dalam hati di dunia ini masih ada kemungkinan untuk mendapatkan hal yang mustahil sekalipun selama dirimu percaya pada apa yang engkau yakini.
Keesokan harinya dan layaknya hari kemarin masih garing tanpa tegur sapa denganya. Lalu kucoba menghilangkan kebosananku dengan pinjem HP si Denar, ia pun memperbolehkanya. Maksud hati ingin main games eh tombol switch off yang ketekan karuan saja aku langsung gelagapan dan langsung saja aku switch on kan lagi lalu tiba-tiba untaian kata menyambutku “LYA AKU SAYANG KAMU”.

Dhuarrrrr……
serasa petir baru saja mampir di kepalaku. Kucoba membacanya lagi untuk memastikan aku gak salah baca, aku sempat berfikir kidarkah mataku, masih sehatkah pengelihatanku, dan masih jelaskah pemandangan mataku, ternyata aku gak kidar, aku masih jelas memandang dan gak mungkin aku salah baca, ternyata tulisan itu memang benar adanya. Berjuta ah bukan bertrilyun rasa sedih, kecewa, marah dan masih banyak yang lainya bermigrasi kedalam hatiku. Ku coba menenangkan diri dan pelan-pelan kutanyakan pada Denar. “Oh…U ternyata suka ama Lya tah?”
“Ehm..gitulah”. jawabnya tanpa ragu. Dhuarrr…kembali sang petir menyapaku. Sakit yang tak terperih menyelimuti hati, bagaimana tidak sahabat yang udah aku beri kepercayaan kenapa juga tega mencintai orang yang kucintai. Aku masih berusaha tetap tenang, sembari berakaca kaca mataku menyiratkan kecewa aku berkata,”Berjuang ya”. Parahnya melihatku demikian denar pun tak ambil pusing sehingga membuat aku semakin kecewa.
Kini aku benar-benar masuk dalam jurang kekecewaan, kalau dulu soal Afla aku masih bisa “survive” karena aku gak tahu sapa tuh anak jadi gak ada alasan untuk mengalah tapi kali ini jauh beda, buanget malah. Kini yang harus aku hadapi di medan pertempuran adalah sahabatku sendiri akankah aku hunus rasa egoisku dan haruskah aku tikamkan rasa cemburuku padanya. Aku benar-benar stress, aku bingung dan gak tahu kemana aku harus berbagi. Setelah aku memperhatikan, menimbang-nimbang, maka akupun memutuskan aku harus yang mengalah dan harus berusaha bantu Denar..hiks walaupun sebagian dari sisi hatiku meronta, menjerit, dan berteriak berunjuk rasa di depan “DPR” hatiku menolak kebijaksanaan yang telah aku ambil, namun ketetapan tetaplah ketetapan yang gak mungkin ku ubah.
Hari demi hari kuhabiskan dengan merenung dan melamun yah layaknya orang gila tapi dengan melakukan itu semua aku merasa agak mendingan. Kini aku jadi demen mendengarkan lagu-lagu sendu bukan saja karena musiknya melainkan juga karena syairnya yang indah dan bisa buat aku melayang-layang karenanya.Dulu aku yang anti novel kini aku mulai menggandrunginya. Mataku tertuju pada suatu kalimat.
Aku sudah menyanyi untukmu
Tapi kau tak juga mau menari
Aku sudah menangis didepanmu
Tapi kau tak juga mau mengerti
Apakah aku harus menyanyi
Dan menangis untukmu
Seketika hatiku trenyuh membaca untaian kalimat singkat tetapi penuh makna itu,
Esok harinya aku kesekolah seperti biasanya, namun kali ini bukan dengan rasa senang ataupun gembira melainkan dengan rasa malas yang teramat sangat. Sebelum ada peristiwa kemarin aku selalu bangun mendahului jam wekerku namun setelah semua itu terjadi bangunku pun selalu kesiangan, teriakan-teriakan sang penjaga waktu tak lagi pernah aku hiraukan. Aku sudah berusaha melupakan cewek yang bernama Lya itu sekuat tenaga namun sedikitpun gak pernah berhasil.
Semakin parah, setiap hari Denar selalu meminta saranku dan meminta dukunganku tapi ia gak tahu gimana sebenarnya sakitnya hatiku .Sudah menjadi kenyataan yang harus aku hadapi mau gak mau aku harus membantunya.
Suatu hari aku minta tolong sama Denar, “Hei Den tanyakan sama Lya gih apakah ia mengenal makhluk yang namanya Afla?” tanyaku. Setelah selidik punya selidik alhasil Lya pun mengatakan bahwa ia memang kenal ama tuh makhluk. Adapun maksud pertanyaanku ini adalah agar si Denar gak bakal terkejut kalo si lya…
Denar mulai menyadari hal itu, lantas kemudian ia nyamperin aku dan nanyakan maksudku menyuruhnya nanyakan masalah afla. Tapi tak dapat kujawab pertanyaanya dan hanya kubalas dengan senyuman hangat. Aku gak tega ngatakan yang sebenarnya dan juga saat ini belumlah tepat untuk mengatakan yang sebenarnya maka oleh karena itu aku menjajikan tiga hal yang akan aku beri tahukan semuanya suatu saat
. Dari hari ke hari aku ngerasa beban dan tanggung jawabku kian bertambah berat, mungkin memang inilah nasibku. Harus aku akui Denar emang lebih ganteng, lebih pinter dan… ah pokoknya ia lebih baik lah ketimbang aku.
Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak mungkin inilah kata yang tepat untuk menggambarkan keadaanku saat ini. Kadang-kadang aku mendengarkan bisikan-bisikan yang aku gak tahu dari mana asalnya ketika aku berada dalam lamunan.
“Hai…..manusia goblok ngapain juga engkau ingkari perasaanmu sendiri. ngapain kau ingkari rasa cintamu, gak usah sok ngalah deh dan kalau kau gak ngalah kau nggak akan seperti ini.” Diriku lalu menjawab,” Mengalah bukanlah hal yang buruk, kehilangan bukan berarti kesedihan dan sapa tahu Lya akan lebih bahagia kalau udah jadian sama orang lain.”Suara aneh itu menyahut,”Tapi gara-gara perasaan ngalahmu itu kau jadi hancur begini”.
Pertentangan demi pertentangan kian membuat aku gundah gulana. Rasanya aku sudah gak kuat lagi menahan semuanya.
Hari itu hari Jumat, hari dimana di mulainya klimaks dari semua permasalahan. Hari itu Denar merencanakan akan nembak si Harim ini entar habis sekolah kelar. Sepulang sekolah ia menemuiku dan meminta saran serta dukunganku sebelum ia benar-benar menuntasakan keinginanya, akupun hanya bisa memberi saran dan saran itu saja. Sungguh aku selalu berharap yang terbaik bagi keduanya terlebih bagi Lya, ternyata Tuhan merencanakan lain, maksud dan keinginan Denar tak dapat diterima oleh Lya, Denar pun lalu kuyu dan layu..”haha rasakan lo..sisi gelapku tertwa gembira. Tapi Aku yang lain jadi sangat kasihan padanya. Sesuai janjiku pada Denar aku harus membongkar 3 hal padanya.
“Den apakah kamu masih mau mendengarkan 3 rahasia yang pernah aku janjikan padamu?” Kataku lirih
“Ya, aku siap mendengarkanya”. jawabnya
“Begini, rahasia yang pertama adalah akupun juga menyukai Lya bahkan jauh sebelum dirimu menyukainya. Rahasia yang kedua adalah Afla itu adalah orang yang di sukai Lya dan yang ketiga adalah selama ini aku hanya diam saja dan mengalah padamu karena aku sangat menyayangi dirimu, kau sudah aku anggap saudaraku sendiri, aku gak tega mengatakan semua yang sebenarnya padamu. Itulah 3 rahasia yang udah kujanjikan padamu dan kini sudah kutuntaskan semuanya.”ceritaku.
“Maafkan aku , mengapa kau tidak mengatakanya padaku dulu-dulu, kalau kau ceritakan padaku sejak dulu aku gak akan berbuat begini dan aku gak akan melukaimu.”Tuturnya sambil meneteskan butiran air bening dari kedua matanya. “Jika aku melakukan hal yang kau katakan itu sejak dulu bukankah hal itu sama saja aku yang balik menyakitimu. Aku gak pingin melakukan hal itu, aku menginginkan hal yang terbaik bagi kalian berdua dan kalau boleh ditukar biarlah kebahagianku aku berikan padamu dan semua kesedihan biarlah untuku saja. Sungguh tiada maksudku untuk mempermainkanmu dan sungguh aku takkan mungkin untuk membohongimu”. jelasku juga sambil meneteskan derai air mata.
“Tapi….”Denar tak meneruskan kata-katanya karena sudah tak mampu lagi untuk berucap, Kami pun terdiam dalam kesenduan dan derai air mata yang tak henti-hentinya mengalir.
“Ah sudah lupakanlah, nih sudah masuk waktu Dhuhur yo kita sholat jumat!” Kataku memecah kesenduan.
“Baiklah”. Ia menyambut dengan senyuman dan mungkin senyuman itu bukanlah senyuman kebangkitan karena kutahu, kami sebenarnya sudah hancur, sudah kalah telak, sudah tersungkur dalam peperangan ini, “Hahahaaaaaaaaahahha”kamipun tertawa serentak, tawa kekalahan, kekalahan pada seorang perempuan.
Semenjak kejadian kemarin aku mulai merasa ada keretakan dintara kami bertiga kalau aku dan Lya sih mending karena emang udah dari dulu kami gak saling sapa tapi Denar dengan Lya sih itu perkara lain, dulu mereka bisa bicara “saenake udele” tapi sekarang bagaikan air dengan minyak. Denar jadi sangat anti soal Lya, tak hanya hal itu kini Denar tak lagi dapat akrab denganku layaknya dulu kala, Entah apakah ia merasa bersalah karena udah menyakitiku atau jastru marah karena merasa dipermainkan. Dari hari kehari keretakan itu semakin terasa bagaikan retaknya telur yang hendak menetas.
Sementara itu aku kian merasa bersalah dan semakin terhimpit diantara keduanya. Suatu hari aku sedang melamun sendirian tiba-tiba Nita, makhluk temenya Lya menegurku, karena dalamnya lamunan aku gak menyahut bahkan akupun gak tahu ketika ia udah bertengger disisiku.
“Heh…ada apa sih, ngelamun kok dalam banget, Masalah Denar ya?” kicaunya.
“Oh ndak aku Cuma lagi frustasi nilaiku hancur ditambah kini segudang masalah hinggap di pundaku ah pokoknya sumpeklah”. balasku
“Sebenarnya aku ngerti kok masalah kalian, gak usah dipikir ntar juga kelar sendiri”. saranya
“Makasih”. sambutku lirih
Dari pembicaraanku dengan Nita akhirnya menjurus ke permasalahan baru, kini muncul nama keempat “Gusti” itulah namanya. Orang inilah yang kini menduduki peringkat pertama dihati Lya. Waduh…makin runyam nih masalah soalnya Gusti itu temanya Denar sendiri dan kalau Denar sampai tahu walahdalah dia bisa “Ngobong kali”. Namun rahasia ini kan kujaga seerat-eratnya dan gak akan aku biarkan Denar sampai tahu.
“Terus si Afla bagaimana?” tanyaku pada Nita
“diya sempet suka seh tapi ndak tahu kenapa lebih milih gusti”. Jawabnya.
Dari sinilah semua permasalahan sebenarnya mulai menunjukan wujudnya. Kemudian setelah bel pulang sekolah berteriak-teriak akupun segera cabut karena kelamaan di sekolah hanya akan membuatku semakin enek.
Malam harinya aku gak bisa tidur memikirkan masalah super ruwet ini. Namun dari sinilah akhirnya aku mendapat sedikit jalan terang untuk mengakhiri semua kemelut ini. Kutulis di sebuah kertas maksud dan keinginanku, kutulis semua rangkaian peristiwa, dan kutulis semua unek-unek di hatiku alau kumaksukan ke sebuah amplop kecil tak lama setelah itu aku angkat HP dan ku SMS Lya,” besok tunggu di Gerbang ya” Keesokan harinya aku merasa kelasku menjadi amat sunyi bahkan teramat sangat walaupun penduduknya riuh ramai namun tak satupun dari Aku, Denar ataupun Lya yang angkat bicara. Garing blas tanpa kata-kata dan mungkin inilah puncak dari segalanya. Akhirnya tibalah saat penentuan, penentuan dari semua rangkaian peristiwa. Setelah bel pulang aku segera pergi untuk menuntasakan keinginanku. Dibawah sebuah pohon “Trembesi” kuserahkan amplop kecil itu pada Nita yang kebetulan sedang bareng sama Lya. aku minta agar amplop kecil itu ntar dikasihkan ke Lya, aku gak berani ngasihkan sendiri karena masih banyak alasan menjadi batas aku gak bisa mengeluarkan sepatah kata. Didalam kertas itu pula aku mohonkan agar kelak Denar dan Lya bisa akur seperti dulu kala.
Tuhan mengabulkan doaku, sehari setelahnya Lya mulai bisa menyapanya kembali, hal ini sudah cukup untuk mencairkan kebekuan diantara mereka berdua. Hubunganku dengan Denar juga sudah mulai membaik walaupun hanya sebatas tegur sapa saja. Yang sangat aku sayangkan hubunganku dengan Lya masih tetep aja dingin bagaikan diselimuti salju abadi. Mungkin ini udah resikonya dan udah gak ada harapan untuk memperbaikinya.
Suatu malam aku termenung sendiri lalu kudengarkan sebuah alunan lagu yang amat indah dari sebuah radio tetanggaku.
Cinta adalah anugrah, maka berusahalah untuk menjaganya
Cobaan kan datang menghujam, halangan kan datang menguji keteguhan
Kegagalan dalam meraihnya adalah warna tersendiri dalam kehidupan
Tanpa adanya cinta maka hidup kita kan sengsara
Dan karenanya lah kita akan mengerti arti dari sebuah kehidupan.
Itulah syair-syair yang dilantunkan, begitu mengena dalam hati. Terlepas dari semua itu aku sering berfikir sendirian, Apakah peranku dalam kisah ini, apakah aku dalangnya, apakah aku sebagai pemeran utamanya atau hanya sebagai figuran saja akan tetapi kalau hanya sebagai figuran saja mengapa harus aku yang paling menderita, paling teraniyaya, dan harus menanggung semua beban permasalahan. Kini aku yakin semuanya kan berlalu seiring dengan langkah sang waktu karena waktu adalah penyembuh terbaik dari segalanya. Untuk saat ini yang kuharapkan hanyalah terbang, terbang menggapai impian, meraih harapan meninggalkan semua kenangan kelam dan menguburnya dalam-dalam. Kini aku ingin terbang menggapai awan.


Bersambung






MENGEJUTKAN

Sebenarnya ku tidak mengerti ujung dan pangkal dari semua ini, apakah pelajaran kimia pada waktu itu adalah penyebab semuanya, apakah mencintai seseorang adalah sebuah kesalahan, apakah membuat pengorbanan bagi sahabat begitu menyakitkan, apakah kita tidak bisa sedikit mereguk kenikmatan dari menyayangi sesorang dan ahhhhh… entahlah, masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi ruang sempit dikepalaku. Tiap malam aku terbangun untuk berkeluh kesah pada Rabbul izati, yang memiliki segala kekuatan dan keagungan. Memohon agar diberi keteguhan menghadapi semua yang tampak pilu didepanku.

Waktu terus berjalan meninggalkan aku jauh dibelakang. Keadaanku bagaikan orang buta yang kehilangan tongkat, tidak tahu kemana aku harus berbagi kesah. Dalam hati aku sering bertanya..
”apakah cinta itu?”
Aku merasa orang paling malang didunia, bagaimana tidak, cintaku tak dapat diraih, membantu sahabat pun aku tak mampu. Dan kini aku bener-bener didera putus asa yang kian meradang.
Tiap saat ketika aku sudah tak kuat lagi menahan nelangsa ini, ku ambil sebuah buku, kugoreskan pena,
Tuhan, sebenarnya cinta itu apa
Sakitnya merasuk mendera
Perihnya menusuk menyiksa
Melodinya sendu nan pilu
Sapanya sunyi nan sepi

Tuhan, cinta itu apa
Lukanya perih menikam hati
Rindunya hebat membuat sekarat
Senyumnya pahit bagai empedu
Dan tawanya kering menggores luka

Tuhan, aku ingin cinta hakiki
Cinta yang sejati
Tak akan pernah pergi dan mati
Cinta dan ridhomu ya illahi Rabbi
Aku tidak tahu siapakah yang benar dan siapa yang salah. Aku hanya ingin sedikit menikmati cinta yang sudah kuperjuangkan, walaupun tidak dengan memilikinya.
Tak terasa kini sudah mulai memasuki akhir semester ganjil, sebentar lagi ujian semester, jika aku terus larut dalam keadaan ini, aku akan mengecewakan banyak orang.
”Hyo, ingatlah orang tuamu, buatlah mereka bangga, mari berjuang”. Itulah kata yang kusematkan dalam hati. Kata yang menjadi penggerak semangat Syukurlah, dengan mengingat jerih payah orang tuaku aku mulai bisa meninggalkan masa kelam ini walau perlahan.
Ujian tinggal seminggu lagi, semua sibuk dengan urusan masing-masing. Persiapan, belajar kelompok, dan deadline tugas akhir semester menjadi agenda utamanya. Semua seolah-olah tenggelam dalam kesibukan luar biasa. Begitu pula dengan diriku. Kutegaskan dalam hati, kata Lya adalah “Haram” untuk diingat. Di depan mataku terbentang padang yang luas, jika aku tertuju pada sebuah titik bernama nelangsa, maka aku akan tersesat selamanya.
Alhamdulillah, akhirnya waktu ujianpun tiba, aku sudah siap, siap bertempur layaknya kesatria nan gagah, walaupun yang kuhadapi hanya sebuah kertas dan bersenjata pena. Entah bagaimana dengan “karakter” yang lain, apakah mereka sama denganku atau justru sebaliknya, ahh..bukan urusanku.

Tidak ada komentar: